Pengertian Ariyah
Menurut etimologis, al-ariyah berarti suatu yang dipinjam,pergi dan kembali atau beredar adapun menurut termologis fiqih ada dua definisi, yang pertama menurut ulama Maliki dan Hanafi mendefinisikannnya dengan pemilikin manfaat sesuatu tanpa ganti rugi, kedua ulama syafi’i dan hambali mendefinisikan dengan kebolehan manfaat barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua definisi ini membawa akibat hukum yang berbeda. Definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga sedangkan pihak kedua tidak membolehkannya.[1]
2.2 Pengertian Al-qardh( hutang piutang)
Secara etimologis qardh merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’-yaqridu,yang berarti dia memutuskannya. Qardh adalah bebtuk masdar yang berarti memutuskan. Dikatakan qaradha syai’a bil miqradh, atau memutuskan sesuatu dengan gunting. Al-qardh adalah sesutu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara termologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Menurut komplikasi hukum ekonomi syariah qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjan yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.[2]
2.3 Dasar hukum Ariyah dan qardh
a. Dasar hukum ariyah
Dasar hukum alquran, yaitu surat Al-maidah ayat 2
“dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan lah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat bert siksa-Nya”
Dan sumber hadist riwayat Muslim:
“dari shafwan ibnu umayah: Rasulullah SAW meminjamkan Abi thalhah dan mengendarainya.
Hadist Riwayat abu Daud: “dari shafwan, Rasulullah SAW meminjam baju perang Abu shafwan, lalu mengatakan: ‘’apakah ini merupakan pakain tanpa izin wahai Muhammad?’’ Rasul menjawab: ‘’tidak, ini saya pinjam dengan jaminan.’’
b. Dasar hukum qardh
Dasar disyariatkannya qardh adalah alquran , hadist dan ijma’
Dasar hukum alquran surat albaqah ayat 245
“siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik(menafkahkan harta dijalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
Dasar hukum hadist riwayat Imam Muslim yang bersumber dari Abu Rafi’ r.a.,sebagai berikut: “sesungguhnya Rasulullah SAW berutang seekor unta muda kepada seorang laki-laki. Kemudian diberikan kepada beliau seekor unta shadaqah. Beliau memerintahkan Abu rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, saya tidak menemukan diantara unta-unta tersebut kecuali unta yang usianya menginjak tujuh tahun. Beliau menjawab, berikanlah unta itu kepadanya karena sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang.”(HR.muslim)
Dalil ijma’ adalah bahwa semua kaum muslim telah sepakat dibolehkannya hutang piutang.
Hak kepemilikan dalam Qardh menurut Abu Hanifah dan Muhammad – berlaku melalui Qabdh (penyerahan). Jika seseorang berhutang satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh, maka ia berhak menggunakan dan mengembalikan dengan semisalnya meskipun muqridh meminta pengembalian gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh. Yang menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang semisalnya dan bukan gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu berlangsung. Abu yusuf berkata : muqtaridh tidak memiliki harta yang menjadi objek Qardh selama Qardh itu berlangsung.Mazhab hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak menyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa dan telur, dan yang diukur, seperti kain bahan.
Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bias dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar, ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta biji-bijian, karena pada riwayat Abu Rafi’ disebutkan bahwa Rasulullah SAW berutang unta berusia masih muda, padahal untuk bukanlah harta yang ditakar atau ditimbang, dan karena yang menjadi obyek salam dapat di hakmiliki dengan jual beli dan ditentukan dengan pensifatan. Maka bisa menjadi obeyek qardh.
Dari sini, menurut jumhur ahli fiqih, diperbolehkan melakukan qardh atas semua benda yang boleh diperjualbelikan kecuali manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh atas manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti membantu memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memenen sehari, atau menempoati rumah orang lain dengan imbalan orang tersebut menempati rumahnya.
2.4 Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah
a. Dasar Hukum Ariyah
Menurut kebiasaan (urf), ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu dengan dua cara yaitu secara hakikat dan secara majaz.
1. Secara Hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya.Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun.
Al-Khurki, Ulama Syafi’iyah, dan Hanabillah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pandangan di atas, dapat ditetapkan bahwa menurut golongan pertama, barang yang dipinjam (musta’ar) boleh dipinjamkan kepada orang lain, bahkan menurut imam Malik, sekalipun tidak diizinkan oleh pemiliknya asalkan digunakan sesuai fungsinya. Akan tetapi Malikiyah melarangnya jika peminjam tidak mengizinkannya.
Alasan Ulama Hanafiah anatar lain bahwa yang memberi pinjaman (mu’ir) telah memberikan hak penguasa barang kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang. Kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan. Dengan demikian, peminjam berkuasa penuh untuk mengambil manfaat barang tersebut, baik dirinya maupun orang lain. Menurut golongan kedua, pinjam-meminjam hanya sebatas pengambilan manfaat maka tidak boleh meminjamkan lagi kepada orang lain.
Golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak kepemilikan.Menurut golongan kedua, peminjam hanya berhak memanfaatkannya saja dan ia tidak memiliki bendanya. Adapun menurut golongan pertama, gadai adalah akad yang lazim (resmi), sedangkan ariyah akad tabarru’ (derma) yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian peminjam tidak memiliki hak kepemilikan.
2. Secara Majazi
Ariyah secara majazi adalah pinjam – meminjam benda-benda yang berkaitan dengan timbangan, hitungan dll, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda serupa atau senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memilki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya. [3]
2.5 Ihwal Ariyah, Apakah Tanggungan atau Amanat.
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa barang pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menanggung barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti juga dalam sewa-menyewa atau barang titipan, kecuali jika kerusakan disengaja atau karena kelalaian.
Ulama Malikiyah[4] berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang tidak ada padanya, yakni yang dapat disembunyikan, seperti baju. Dia tidak harus menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikan seperti hewan atau barng yang jelas dalam hal kerusakan.
Yang benar menurut kalangan Syafi’iyah, peminjam menanggung harga barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja. Adapun jika barang tersebut digunakan sesuai dengan izin pemilik, peminjam tidak menanggungnya ketika terjadi kerusakan.
Ulama Hanabillah berpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik disengaja maupun tidak. Selain itu, barang pinjaman merupakan harta orang lain untuk diambil manfaatnya. Berbeda dengan pengambilan manfaat yang disertai jaminan seperti, gadai.
Mu’ir Mensyaratkan Peminjam Harus Bertanggung Jawab
Ulama Hanafiyah berpendapat, jika mu’ir memberikan syarat adanya tanggungan kepada peminjam, syarat tersebut batal. Begitu juga pada penitipan. Hala itu mensyaratkan tidak adanya tanggung jawab pada sewa-menyewa sebab persyaratan tersebut mengubah inti akad.
Menurut ulama Malikiyah, jika mu’ir mensyaratkan peminjaman untuk bertanggung jawab pada sesuatu yang bukan pada tempatnya, peminjam tidak menanggungnya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabillah berpendapat, jika peminjam mensyaratkan ariyah sebagai amanat bukan tanggungan, tanggungan tidak gugur dan syarat batal, sebab setiap akad mengaharuskan adanya tanggungan tidak dapat diubah dengan syarat.
Ariyah Berubah dari Amanah kepada Tanggungan.
Menurut ulama Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah kepada tanggungan karena diantara keduanya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan tersebut pada penitipan barang, yaitu dengan sebab sebagai berikut :
a. Menghilangkan barang
b. Tidak menjaganya ketika menggunakan barang
c. Mengunakan barang tidak sesuia dengan persyaratan atau kebiasaan.
d. Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya.
2.6 Rukun dan Syarat
a. Rukun dan syarat Ariyah
1. Adanya pihak yang memijamkan dengan syarat orang yanag beraka sehat dan mengerti akad
2. Adanya pihak yang dipinjamkan dengan syarat orang yang berakal sehat
3. Adanya objek yang dipinjamkan dengan syarat
a. Harta yang dipinjamkan harus milik atau harta yang berada dibawah kekuasaan pihak yang meminjamkan.
b. Objek yang dipinjamkan haruslah sesuatu yang bisa dimanfaatkan ,baik kemanfaatannya berbentuk materi atau tidak
Berakhirnya akad Ariyah:
1. Salah satu pihak menjadi tidak lai cakap hukum untuk melakukan akad ariyah
2. Diketahui bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak tasharruf
3. Adanya penipuan terhadap keadadn barang
4. Barang di kendalikan oleh yang meminjam[5]
Rukun dan syarat transaksi Qardh:
1. Shigat (ijab dan kabul)
2. ‘aqidain( dua pihak yang melakukan transaksi) dengan syarat baliq,berakal sehat, dan pandai
3. Harta yang dihutangkan, rukun harta yang dihutangkan adalah sebagai berikut:
a. Harta berupa yang ada padanya, maksudnya harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banayak berbeda yang mengakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat ditakar,ditimbang, ditanam, dan dihitung.
b. Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda tidak sah menghutangkan manfaat (jasa)[6]
c. Harta yang di hutangkan di ketahui yaitu diketahui kadarnya dan diketahui sifatnya
2.7 Adab dalam ariyah dan qardh
a. Sesuai dengan QS al-baqarah 282, utang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dengan dua orang saksi laki-laki atau satu saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tersebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai atau dihadapan notaris.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanaya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknaya membebaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjman hendaknaya dipercepat pembayarannya karena lalai dalam pembayaran utanf adalah perbuatan zalim.
2.8 Pelaksanaan dan Shigat
Qarad dipandang sah apabila dilakukan terhadap barang-barang yang dibolehkan syara’. Selain itu, qaraad pun dipandang sah setelah adanya ijab dan qabul, seperti pada jual-beli dan hibah[7]. Shigat ijab bisa dengan menggunakan lafal qarad dan salaf (utang), atau dengan dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya milikkan kepadamu barang ini, dengan ketentuan anda harus mengembalikan kepada saya penggantinya”. Penggunaan kata milik disini bukan berarti diberikan cuma – cuma, melainkan pemberian hutang yang harus dibayar.
2.9 Barang yang Sah Dijadikan Qarad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qarad dipandang sah pada harta mitsil, yaitu sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai. Diantara yang dibolehkan adalah benda-benda yang ditimbang, ditakar, atau dihitung.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah membolehkan qarad pada setiap benda yang tidak dapat diserahkan, baik yang di takar maupun yang ditimbang, seperti emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti barang dagangan, hewan, atau benda yang dihitung. Jumhur Ulama membolehkan, qarad pada setiap benda yang dapat diperjualbelikan, kecuali manusia.[8]
2.10 Tempat Membayar Qarad
Ulama fiqh sepakat bahwa qarad harus dibayar di tempat terjadinya akad secara sempurna. Namun demikian, boleh membayarnya di tempat lain apabila tidak ada keharusan untuk membawanya atau memindahkannya, juga tidak ada halangn di jalan. Sebaliknya, jika terdapat halangan apabila membayar di tempat lain, muqrid tidak perlu menyerahkannya.[9]
2.11 Hikmah dan manfaat disyariatkannya Ariyah dan Qardh
Hikmah disyariatkanya qardh adalah sebagai berikut:
a. Melaksanakan kehendak Allah adgar kaum muslimin saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan
b. Menguatkan ikatan ukhuwah dengan cara mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan mengalami kesulitan dan meringankan beban orang yang tengah dilanda kesulitan.
2.12 Aplikasi Qardh dalam perbankan
Akad qardh biasanay diterapkan sebagai berikut:
a. Sebagai produk pelengkap kepada nasaah yang telah terbukti layalitas adan bonafitasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabh tersebut akan mengembalika secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
b. Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat sedangka ia tidak bisa menarik dananya karena, misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.
c. Seagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil atau membantu sektor sosial.
2.13 Sumber Dana untuk Qardh dalam Perankan Syariah
Sifat al-qardh tidak memberi keutungan finansial. Karena itu pendanaan qardh diambil menurut kategori berikut:
a. Al-qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Talangan dana diatas dapat diambilkan dari modal.
b. Al –qardh yang diperlukan untuk membentuk usaha yang sangat kecil dan keperluan sosial, dapat bersumber dari dana zakat, dana infak,dan sedekah. Disamping sumber dana umat, para praktisi perbankan syariah, demikian juga ulama melihat adanya sumber dana lain yang dapat dialokasikan untuk al-qardh al hasan yaitu pendapatan-pendapatan yang konvensional, bunga atas jaminan di bank asing atau sebagainya[10]
2.14 Manfaat Qardh dala perbankan syariah
Qardh dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah yang memiliki manfaat diantaranya, memungkinkan nasabah yang sedang adalam kesulitan mendesak untuk mendapatkan talangan jangka pendek, al-qardh al-hasan mjuga merupakan salah satu ciri pembeda anata bank syariah dan bank konvensional yang didalamnya terkandung misi sosial, disamping misi komersil, adanya misi sosial-kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkat kan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah,
3.1 Simpulan
Dari penjabaran diatas penulis menyimpulkan bahwa perbedaan antara pinjam meminjam dan hutang piutan adalah, jika pinjam meminjam merupakan pembolehan memanfaatkan barang oleh pemilik kepada orang lain dengan tetapnya barang itu stelah dimanfaatkan tanpa adanya bayaran sedangkan utang piutang merupakan menyerahkan harta (uang) kepada orang lain yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya pada suatu saat sesuai dengan perjanjian batas waktu yang ditentukan.
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banayak terdapat kekurangan dan kesalahan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi tercapainya kesempurnaan dalam makalah ini.
PONPES AL ISMAILIYUN ,SUKADAMAI ,NATAR ,LAMPUNG SELATAN
DAFTAR PUSTAKA
Gemala dewi, 1998, Aspek-Aspek Hukum Islam, Jakarta: Gramedia
DR. Mardani, 2000, Fiqih Ekonomi Syariah, jakarta: Gramedia
Karim malik ,1954, Fiqih Islam, Yogyakarta: Fakultas P.T.I.A.I.N Yogyakarta
Hadna mustopa, 2011, Fiqih jilid 3,Pemalang: Erlangga
Syafei racmatMA, 2002,Fiqh Muamalah, Bandung:CV. Pustaka Setia
[1] Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, hlm.329
[2] Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, hlm333
[3] Al-Kasani. juz VI, hal. 251. Dikutip dari buku Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah. Hal. 143
[4] Ibn Rusyd, Op.Cit., juz II hal. 308
[5] Gemala dewi, aspek-aspek hukum islam,hlm.29-29
[6] Hal ini pendapat dikalangan mazhab hanafiah dan hanabilah sedangkan kalangan syafi’iah dan hanafiyah tidak mensyaratkan demikian
[7] Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah (Bandung:CV. Pustaka Setia) hal. 153
[8] Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqh Muamalah (Bandung:CV. Pustaka Setia) hal. 154
[9] Ibid, hal. 156
[10] Kompilasi hukum ekonomi syariah