Pengertian Syirkah
Dari segi bahasa, syirkah adalah penggabungan (ikhtilâth)
dua harta atau lebih menjadi satu. Sedang menurut istilah syari’, syirkah
adalah hak kepemilikan terhadap suatu yang dimiliki oleh dua orang atau lebih
sesuai prosentase tertentu (yaitu kerjasama dalam usaha atau sekedar
kepemilikan suatu benda).[1]
Syirkah
sendiri merupakan kata dari bahasa Arab yaitu syarika, yasyruku, syarikan yang
mempunyai arti sekutu atau serikat. Sedangkan menurut Al-Imam Asy-Syaukani
Rahimahullah berkata dalam As-Sailul Jarraar (III/246, III/248), Perserikatan
(syirkah) menurut syari’ itu terjadi karena adanya perjanjian yang saling ridha
antara dua orang atau lebih dengan ketentuan setiap orang dari mereka membayar
(menyetor) jumlah yang jelas dari hartanya, kemudian mereka mencari usaha dan
keuntungan dengan uang tersebut. Setiap orang dari mereka mendapat untung
seukuran harta yang ia serahkan, dan bagi setiap orang dari mereka ada
kewajiban pembiayaan sebesar itu pula yang dikeluarkan dari harta perserikatan.
Jika terjadi saling ridha untuk membagi untung sama rata walaupun jumlah harta
yang dikeluarkan berbeda-beda, maka hal tersebut boleh, walaupun harta (yang
dikeluarkan) oleh salah seorang dari mereka sedikit dan yang lain lebih banyak.
Dan dalam hal yang seperti ini tidak mengapa menurut syariat, karena ia
merupakan perniagaan yang dilakukan atas dasar saling ridha dan kerelaan hati.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa
syirkah merupakan suatu akad perjanjian dalam bidang usaha modal maupun jasa
dari kedua belah pihak ang sama-sama ingin mencari keuntungan bersama. Menurut terminology,
ulama fiqih beragam pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
a)
Menurut
malikiyah : Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharuf) harta yang
dimiliki dua orang secara bersama sama oleh keduanya, namun masing masing
memiliki hak untuk bertasharruf.
b)
Menurut hanabilah
: Perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengolahan harta (tasharruf ).
c)
Menurut
syafi’iyah : ketetapan pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan
cara yang masyhur (diketahui).
d)
Menurut
hanafiyah :Ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang
bersekutu pada pokok harta dan keuntungan.
Ada juga pendapat fuqaha menurut
istilah sebagai berikut:
1.
Sayyid Sabiq,
Akad antara
dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.
2.
Muhammad al-Syarbini al-Khatib
Ketetapan
hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur
(diketahui).
3.
Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira
Penetapan
hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.
4.
Idris Ahmad
Syirkah
sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji dan
akan bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing, dimana
keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal
masing-masing.
Setelah
diketahui definisi syirkah menurut para ulama, kiranya dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih
dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama. [2]
2.2 Landasan syirkah
a)
Al Quran
Ayat-ayat Al Quran yang
memerintahkan agar ummat islam saling tolong menolong dalam berbuat kebaikan,
seperti dalam QS. Al maaidah:2 dapat dijadikan dasar hukum syirkah karena
syirkah merupakan salah satu bentuk pelaksanaan perintah tolong menolong
berbuat kebaikan dalam hal penghidupan.
“
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia
dan keredhaan dari Rabbnya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
(QS. 5:2)
b) Hadis
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah),
berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr
(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai
nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara
ber-syirkah dan Nabi saw. membenarkannya. Nabi
saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah
ra.: Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
عَنْ أَبِى هُرَ يْرَ ةَ
رَ ضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَ سُوْ لُ اللّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .قَالَ اللَّهُ تَعَالَى :أَ نَا ثَا
لِثُ الشَّرِ يْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ أَحَدُ هُمَا صَا حِبَهُ
فَاءِ نْ خَا نَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا (رواه أبوداود)
Artinya : Aku adalah pihak ketiga
dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang
lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR
Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
c) Al-Ijma’
Umat islam sepakat
bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya
d)
Undang-undang
di Indonesia
Ketentuan tentang Syirkah di Indonesia
termuat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, terdapat dalam buku II Bab VI
tentang Syirkah pada umumnya dan Bab VII tentang Syirkah Milik, terdiri dari 96
pasal, mulai dari pasal 134 sampai pasal 230.[3]
2.3 Syarat,
Rukun dan Prinsip Syirkah
1.
Syarat-syarat Syirkah
a)
Orang yang bersyirkah sudah baligh, berakal sehat, dan bukan
budak belian.
b)
Modal yang akan di syirkahkan harus jelas.
c)
Masing-masing modal yang di syirkahkan harus dicampur
menjadi satu, sehingga tidak dapat dibedakan antara satu dengan lainya.
d)
Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dalam lembaga
syirkah tersebut harus jelas, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan oleh
salah satu pihak, yang dapat merugikan pihak lain.
e)
Untung dan rugi dalam usaha harus di atur berdasarkan
perbandingan modal dan pekerjaan yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak.
2.
Rukun Syirkah
a)
Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat. Terpenuhinya akad merupakan salah satu
perintah Allah, begitu pula pemenuhan atas janji dalam akad seperti pada surah
Al-Maidah : 1, yang artinya “Wahai rang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad
itu..”
b)
Dua pihak yang berakad (al-‘âqidâni),
syaratnya harus memiliki kecakapan melakukan tasharruf (pengelolaan
harta);
c)
Obyek akad, disebut juga al-ma’qûd ‘alaihi,
yang mencakup pekerjaan (al-amal) dan atau modal (al-mâl)
3.
Prinsip-prinsip Syirkah
Dengan memperhatikan berbagai bentuk syirkah dalam Islam,
maka terdapat prinsip-prinsip penting yang harus selalu ada :
a) Modal harus kontan dan tidak boleh
dihutang atau tidak ditempat akad (ghaib) karena tujuan syirkah ini adalah
mencari keuntungan dengan usaha dan itu tidak akan terwujud jika modal belum
diberikan. Alasan lain yaitu bila modal dihutang atau belum diserahkan
sementara pekerja sudah mengerahkan tenaga dan pikiran, maka itu akan
berpeluang menimbulkan sengketa.
b) Pembentukan dan pengembangan serikat
harus dengan persetujuan seluruh pihak yang terlibat. Jika sebuah serikat telah
terbentuk dan ada pihak lain yang ingin bergabung, maka itu harus dengan
persetujuan semua pihak yang terlibat.
c) Penghentian syirkah. Syirkah berdiri
atas dasar kerelaan (ridha), kepercayaan dan amanah. Sebagaimana aqad yang
lain, aqad syirkah bisa dibubarkan jika salah satu pihak membatalkan aqad. Atau
karena salah satu pihak meninggal atau gila. Menurut pendapat hanafiyah, bila
salah seorang mitra meninggal, ahli waris yang telah dewasa bisa melanjutkan syirkah
tersebut.
2.4
Macam-macam Syirkah
Dalam lingkup besar syirkah terbagi atas dua macam yaitu
syirkah amlak (kepemilikan) dan ‘uqud (kontrak). Syirkah amlak adalah syirkah
yang bersifat memaksa dalam hukum positif, sedangkan syirkah uqud adalah yang
bersifat ikhtiyar (pilihan sendiri).
1.Syirkatul
amlâk yaitu kepemilikan barang secara kolektif.
Syirkatul amlâk ada dua bentuknya yaitu :[6]
1) Syirkatul ikhtiyâr yaitu persyerikatan dalam kepemilikan barang
( atau kepemilikan secara kolektif) yang dihasilkan oleh perbuatan dua orang
atau lebih. Misalnya dua orang atau lebih yang sepakat untuk membeli suatu
barang dengan biaya bersama. Maka kepemilikan terhadap barang itu sesuai
prosentase modal.
2) Syirkatul jabr yaitu
kepemilikan secara kolektif terhadap sebuah barang tanpa usaha dari pihak yang
bersyerikat. Misalnya dalam harta warisan yang didapat oleh ahli waris jika ada
dua atau lebih.
2.
Syirkatul Uqûd.
Syirkatul uqûd adalah aqad yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih yang bersepakat untuk bersyarikat dalam modal atau melakukan kerjasama
usaha dengan tujuan mencari untung.[8] Perseroan ini dapat dikelompokkan
menjadi beberapa kelompok yaitu :
a) Syirkah Bil Amwâl (Perseroan dalam modal)
Perseroan
ini bertumpu pada modal bersama untuk melakukan sebuah usaha guna menghasilkan
keuntungan. Syirkah ini memiliki dua bentuk yaitu:
1. Syirkatul Inân
Syirkah
Inan adalah persyerikatan dua pihak atau lebih dimana masing-masing membawa
dana sebagai modal dan keahlian masing-masing dalam sebuah usaha. Modal utama
adalah uang dan keahlian. Keabsahan syikrah jenis ini telah disepakati oleh
para Ulama. Dalam perserikatan (syirkah) ini, barang yang disertakan sebagai
modal harus lebih dulu dihitung nilainya sebelum aqad berlangsung. Nilai modal
atau barang modal dari masing-masing pihak tidak harus sama. Syirkatul Inân
dibangun diatas prinsip wakâlah (perwakilan) dan amanah (kepercayaan). Karena
masing-masing pihak telah memberi kepercayaan dan izin kepada mitranya untuk
mengelola dana dalam usaha yang disepakati tersebut. Bila telah berlangsung
aqad, maka masing-masing pihak harus terlibat secara langsung, tidak boleh
diwakilkan, karena perserikatan (syirkah) ini melibatkan badan (fisik) mereka.
Namun bila semua pihak yang terlibat bersepakat untuk menggaji seorang pegawai
yang mengelola usaha itu, maka itu diperbolehkan, tapi bukan sebagai pegawai salah
pihak. Dalam perserikatan ini, pembagian laba tergantung kesepakatan sedangkan
resiko kerugian ditanggung berdasarkan prosentase modal masing-masing.
Berdasarkan kaidah :
الرِّبْحُ عَلَى مَا شَرَطَا وَالْوَضِيْعَةُ عَلىَ قَدْرِ
الْمَالَيْنِ
Laba
itu tergantung kesepakatan bersama sedang kerugian ditanggung masing masing
pihak berdasarkan nilai modal (uang)[9]
2. Syirkatul Mufâwadhah
Secara
bahasa al-mufâwadhah adalah al-musâwah (persamaan). Dinamakan al-mufâwadhah
karena modal, keuntungan, kerugian dan keahlian dalam perserikatan ini harus
sama. Syirkatul mufâwadhah adalah akad berserikat yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih untuk usaha bersama dengan syarat modal, keahlian serta agama harus
sama kemudian keuntungan maupun kerugian dibagi sama pula. Menurut Hanafiyah
dan Zaidiyyah bahwa dalam syirkah ini, masing-masing pihak boleh melakukan
keputusan atau kebijakan sesuai kebutuhan tanpa harus meminta pertimbangan
mitranya. Sedangkan menurut malikiyah hal semacam ini disebut syirkatul inan.
Malikiyah menetapkan syarat dalam syirkah mufawadhoh yaitu setiap kebijakan
yang diambil oleh salah satu pihak harus seizin mitranya.
b) Syirkah bil A’mâl atau bil Abdân (Persyarikatan Pada Tenaga/
Keahlian)
Syirkah
ini bertumpukan pada fisik atau keahlian dalam usaha sebagai modal utama.
Misalnya dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam jasa memanen padi atau
mengangkat barang atau membuat perkakas rumah tangga dan lain sebagainya. Dalam
hal ini, menurut jumhur Ulama tidak disyaratkan kesamaan tenaga atau keahlian
pada masing-masing pihak dan hasil dibagi sesuai kesepakatan bersama.
Perserikatan seperti ini sah menurut jumhur ulama walaupun kemampuan
masing-masing tidak sama. Ulama’ yang membolehkan adalah dari kalangan
hanafiyyah, malikiyah, hanabilah serta zaidiyyah, berdasarkan :
قَالَ ابنُ مَسْعُوْدٍ اشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ
فِيمَا نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ قَالَ فَجَاءَ سَعْدٌ بِأَسِيرَيْنِ وَلَمْ أَجِئْ
أَنَا وَعَمَّارٌ بِشَيْءٍ فَلَمْ يُنْكِرِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم عَلَيْنَا
Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “Aku bersyerikat dengan Ammar dan Sa’ad
dalam perang badar (atas hasil rampasan), lalu Sa’ad berhasil menawan dua
tawanan sedangkan aku dan ammar tidak mendapatkan apa-apa (lalu kami bagi
bertiga), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan
kami. Ibnu Taymiyyah rahimahullah memandang hadits ini sebagai hujah syirkatul
abdân.
c) Syirkatul Wujûh (berserikatan dalam kedudukan)
Syirkah
wujûh adalah akad berserikat antara dua orang atau lebih dengan modal pinjaman
dari pihak luar karena mereka memiliki kedudukan di tengah masyarat serta
kepercayaan orang yang dipinjam hartanya. Artinya, dengan kedudukan itu
orang-orang yang berserikat ini memperoleh pinjaman lunak berupa barang sebagai
modal untuk dijual kontan kepada konsumen, sehingga dalam syirkah ini tidak ada
modal harta.
Syirkah
semacam ini dibolehkan oleh Ulama’ hanafiyah, hanâbilah dan zaidiyyah dengan
dalil bahwa ini termasuk syirkatut tadhamun (penanggungan) wa taukîl
(perwakilan) yaitu setiap persero dan mengkalim barang yang ia tanggung dari
hasil pinjaman tersebut dan juga dapat mewakilkan kepada syariknya untuk
melakukan pembelian dan penjualan, Alasan lain adalah perbuatan ini telah lama
dilakukan kaum muslimin dari masa kemasa dan tidak terdengar satupun ulama’
yang melarangnya. Ringkas kata bahwa hasil kesepakatan dari para syarik
merupakan suatu bentuk amal(tenaga) dalam usaha bersama. Sehingga menurut
mereka hal yang demikian diperbolehkan. Pendapat kedua adalah pendapat Ulama’
mâlikiyyah, syâfi'iyah, zhâhiriyyah, imâmiyah, juga Abu Tsaur t yang memandang
bahwa syirkatul wujûh itu bathil karena menurut mereka syirkah itu hanya pada
harta dan tenaga (badan) dan mereka menilai syirkatul wujûh bukan harta dan
bukan badan. Berdasarkan pendapat pertama dapat disimpulkan bahwa syirkatul
wujûh akan menghasilkan bagian yang jelas bagi masing-masing pihak dari barang
hutangan tersebut ( yang dijadikan sebagai modal), sehingga keuntungan atau
kerugian akan dibagi sesuai prosentase tanggungan masing-masing. Karena
masing-masing pihak sebagai dhâmin (penjamin) dari bagian yang telah
disepakati.
d) Syirkatul Mudhârabah
Syirkatul
mudhârabah disebut juga qiradh. Ini adalah gabungan dari syirkatul amwâl dari
salah satu pihak dan syirkatul abdân dari pihak kedua. Misalnya, akad
berserikat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dimana ada pihak yang
membawa harta sebagai modal usaha sedangkan yang lain membawa badan atau
keahlian untuk berusaha. Syirkah seperti ini hukumnya mubah (boleh). Abbas bin
Abdul Muthalib Radhiyallahu anhu pernah memberikan modal mudlârabah dengan
menetapkan syarat-syarat tertentu kepada pengelola, kemudian berita ini sampai
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam membenarkannya. Ijma' shahabat juga membenarkan syirkah semacam ini.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu pernah memberikan harta
kepada anak yatim dengan cara mudhârabah. Kemudian Umar Radhiyallahu anhu
meminta bagian dari harta tersebut, lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian
bagian tadi dibagikan kepadanya oleh al-Fadlal. Keuntungan dalam syirkah mudhârabah dibagi
sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian dibagi sesuai ketentuan syara' yaitu
pemodal menanggung kerugian harta, sementara pengelola menanggung kerugian
waktu, tenaga, keahlian dan pemikiran yang telah dicurahkan. Syirkah ini
statusnya sama dengan aqad wakâlah (perwakilan), dimana orang yang menjadi
wakil tidak bisa menanggung kerugian. Kerugian sepenuhnya ditanggung oleh yang
mewakilkan, sepanjang kerugian itu terjadi sebagai sesuatu yang memang harus
terjadi, bukan karena kesengajaan atau kecerobohan pengelola. Modal usaha dalam
syirkah mudhârabah harus diserahkan sepenuhnya kepada pengelola. Syirkah itu
terbangun atas dasar kepercayaan dan amanah. Jadi, pemodal harus mempercayakan
sepenuhnya kepada pengelola untuk mengelola usahanya sesuai batasan-batasan
yang telah ditentukan atau disepakati.
2.5
Hal-hal Yang Membatalka Syirkah
Perkara yang membatalkan syirkah
terbagi menjadi dua hal. Ada yang membatalkan secara umum dan ada pula yang
membatalkan sebagian yang lain.
a)
Pembatalan
Syirkah Secara Umum
1)
Pembatalan dari
salah seorang yang bersekutu
2)
Meninggalnya
salah seorang yang syrik
3)
Salah seorang
syrik murtad atau membelot ketika berperang
4)
Gila
b)
Pembatalan
Secara Khusus
1) Harta syirkah rusak
2) Tidak ada kesamaan modal
Pembatalan
perjanjian diperbolehkan oleh islam jika memenuhi syarat seperti di atas. Abu
Daud At Tarmizi meriwayatkan Umar bin Abasah, berkata : Aku telah mendengar
Rasulullah bersabda yang artinya “siapa yang antaranya dengan suatu kaum
mengadakan sebuah perjanjian maka hendaklah ia tidak membatalkan dan
menyelesaikannya sebelum masanya berakhir atau membatalkan secara
bersama”. Tetapi jika memang terdapat
pelanggaran dalam syirkah maka cara
pembatalan perjanjianpun dengan cara baik-baik seperti dalam
QS.Al-Anfal:58 yang artinya : “Dan jika kamu mengetahui penghianatan mereka
maka kembalikanlah perjanjian kepada mereka dengan cara yang baik”
2.6
Hikmah Syirkah
Syirkah mengandung hikmah yang sangat besar, baik bagi
pelakunya maupun bagi masyarakat luas, diantaranya sebagai berikut :
a) Terkumpulnya modal dengan jumlah
yang besar, sehingga dapat digunakan untuk mengadakan pekerjaan-pekerjaan besar
pula.
b) Dapat memperlancar laju ekonomi
makro.
c) Terciptanya lapangan pekerjaan yang
lebih luas dan memadai.
d) Terjalinya rasa persaudaraan
diantara sesama pemegang modal dan mitra kerja yang lain.
e) Pemikiran untuk memajukan perusahaan
menjadi lebih banyak karena berasal dari banyak orang pula.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Syirkah yaitu suatu perjanjian usaha antara dua atau beberapa
pemilik modal untuk menyertakan modalnya pada usaha bersama, yang masing-masing
mepunyai hak untuk ikut serta, mewakilkan atau menggugurkan haknya dalam
manajemen usaha
2. Landasan syirkah berdasarkan Al-Quran, Hadist, Ijma, dan UU
muamallat
3. Syirkah harta yaitu Yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih
dalam permodalan untuk melakukan suatu bisnis atau usaha atas dasar membagi
untung dan rugi, sedangkan syirkah kerja yaitu syirkah antara dua orang atau
lebih untuk melakukan suatu usaha yang hasilnya atau upahnya dibagi sesuai
dengan perjanjian.
4. Rukun Syirkah yaitu akad, orang, dan barang. Prinsip syirkah
yaitu tercantumnya modal, cara pembentukan, dan penghentian syirkah. Sedangkan
syarat syirkah yaitu baligh, tidakgila, modal jelas dan sebagainya.
5. Pembatalan syirkah dibagi menjadi pembatalan secara umum dan
khusus.
Dwi Swiknyo. 2010.hal:103.
Suhendi H,
Hendi.2010. hlm:125
Lihat
di buku II BAB VI dan VII Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/SYIRKAH.pdf.