DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
______________________________________________________________
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 04/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
MURABAHAH
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dewan Syari’ah Nasional setelah
Menimbang : a. bahwa
masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada
prinsip jual beli;
b. bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna
melang-sungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank
syari’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu
menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba;
c. bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu
menetapkan fatwa tentang Murabahah untuk dijadikan pedoman oleh bank syari’ah.
Mengingat : 1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ
تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ...
“Hai orang yang beriman! Janganlah
kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:
…
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا…
"…Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."
3. Firman Allah QS. al-Ma’idah
[5]: 1:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
4. Firman Allah QS. al-Baqarah
[2]: 280:
وَإِنْ كَانَ ذُوْعُسْرَةٍ
فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ...
“Dan
jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia
berkelapangan…”
5. Hadis Nabi saw.:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيْ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ، (رواه
البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان)
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli
itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan
dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى
أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ
لِلْبَيْعِ (رواه ابن ماجه عن صهيب)
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang
mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah),
dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’”
(HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ
حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف).
“Perdamaian dapat dilakukan di antara
kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi
dari ‘Amr bin ‘Auf).
8. Hadis Nabi riwayat jama’ah:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ…
“Menunda-nunda (pembayaran)
yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
9. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu
Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ.
“Menunda-nunda (pembayaran)
yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi
kepadanya.”
10. Hadis Nabi riwayat `Abd
al-Raziq dari Zaid bin Aslam:
أَنَّهُ سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْعُرْبَانِ فِى الْبَيْعِ فَأَحَلَّهُ
“Rasulullah saw. ditanya
tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau
menghalalkannya.”
11. Ijma' Mayoritas ulama tentang
kebolehan jual beli dengan cara Murabahah (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid,
juz 2, hal. 161; lihat pula al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz 5 Hal.
220-222).
12. Kaidah fiqh:
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ
أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan
Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H./1 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG MURABAHAH
Pertama : Ketentuan
Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang
telah disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank
harus memberitahu
secara jujur harga pokok
barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad
tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus
dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang,
secara prinsip, menjadi milik bank.
Kedua : Ketentuan
Murabahah kepada Nasabah:
1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada
bank.
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia
harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada
nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara
hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian
kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta
nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang
tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian
yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya
kepada nasabah.
7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun
sebagai alternatif dari uang muka, maka
a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal
membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal
sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika
uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga : Jaminan
dalam Murabahah:
1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan
pesanannya.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat
dipegang.
Keempat : Hutang dalam
Murabahah:
1. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi
murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah
dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang
tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk
menyelesaikan hutangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran
berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap
harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh
memperlambat pemba-yaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima : Penundaan
Pembayaran dalam Murabahah:
1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda
penyelesaian hutangnya.
2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Ketujuh : Bangkrut
dalam Murabahah:
Jika nasabah telah
dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan
hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H. 1 April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Prof. KH. Ali Yafie Drs.
H.A. Nazri Adlani