DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
______________________________________________________________
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 01/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
G I R
O
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dewan
Syari’ah Nasional setelah
Menimbang : a. bahwa
keperluan masyarakat dalam peningkatan kesejahtera-an dan dalam bidang
investasi, pada masa kini, memerlukan jasa perbankan; dan salah satu produk
perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah giro, yaitu
simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan
cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan
pemindahbukuan;
b. bahwa kegiatan giro tidak semuanya dapat
dibenarkan oleh hukum Islam (syari’ah);
c. bahwa oleh karena itu, Dewan Syari’ah Nasional
(DSN) memandang perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah
syar’iyah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan giro pada bank syari’ah.
Mengingat : 1. Firman
Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ
تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ...
“Hai
orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
sukarela di antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
...فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ...
“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya…”.
3. Firman Allah QS. al-Ma’idah
[5]: 1:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …”.
4. Firman Allah QS. al-Ma’idah
[5]: 2:
… وَتَعَاوَنُوْا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى …
“dan tolong-menolonglah
dalam (mengerjakan) kebajikan….”
5. Hadis Nabi riwayat
al-Thabrani:
كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ
الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ
لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ
دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه
الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).
“Abbas bin Abdul Muthallib
jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya
agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli
hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar
Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ،
وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ
(رواه ابن ماجه عن صهيب)
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang
mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah),
dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ
حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا، وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ
شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف).
“Perdamaian dapat dilakukan
di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin
‘Auf).
8. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah
sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai
mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu
dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
1989, 4/838).
9. Qiyas. Transaksi mudharabah,
yakni penyerahan sejumlah harta (dana, modal) dari satu pihak (malik, shahib
al-mal) kepada pihak lain (‘amil,
mudharib) untuk diperniagakan (diproduktifkan) dan keuntungan dibagi di antara
mereka sesuai kesepakatan, diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
10. Kaidah fiqh:
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ
أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
11. Para
ulama menyatakan, dalam kenyataan banyak orang yang mempunyai harta namun tidak
mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkannya, sementara itu tidak
sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam
memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di antara
kedua pihak tersebut.
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan
Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H./1 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG GIRO
Pertama : Giro ada
dua jenis:
1. Giro yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang
berdasarkan perhitungan bunga.
2. Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan
prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Kedua : Ketentuan
Umum Giro berdasarkan Mudharabah:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal
atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola
dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,
bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan
prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan
pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan
bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah
tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga : Ketentuan
Umum Giro berdasarkan Wadi’ah:
1. Bersifat titipan.
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call).
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Ditetapkan
di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H.
1
April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Prof. KH. Ali Yafie Drs.
H.A. Nazri AdlaniDEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
______________________________________________________________
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 01/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
G I R
O
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dewan
Syari’ah Nasional setelah
Menimbang : a. bahwa
keperluan masyarakat dalam peningkatan kesejahtera-an dan dalam bidang
investasi, pada masa kini, memerlukan jasa perbankan; dan salah satu produk
perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah giro, yaitu
simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan
cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan
pemindahbukuan;
b. bahwa kegiatan giro tidak semuanya dapat
dibenarkan oleh hukum Islam (syari’ah);
c. bahwa oleh karena itu, Dewan Syari’ah Nasional
(DSN) memandang perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah
syar’iyah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan giro pada bank syari’ah.
Mengingat : 1. Firman
Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ
تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ...
“Hai
orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
sukarela di antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
...فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ...
“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya…”.
3. Firman Allah QS. al-Ma’idah
[5]: 1:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …”.
4. Firman Allah QS. al-Ma’idah
[5]: 2:
… وَتَعَاوَنُوْا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى …
“dan tolong-menolonglah
dalam (mengerjakan) kebajikan….”
5. Hadis Nabi riwayat
al-Thabrani:
كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ
الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ
لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ
دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه
الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).
“Abbas bin Abdul Muthallib
jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya
agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli
hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar
Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ،
وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ
(رواه ابن ماجه عن صهيب)
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang
mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah),
dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ
حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا، وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ
شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف).
“Perdamaian dapat dilakukan
di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin
‘Auf).
8. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah
sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai
mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu
dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
1989, 4/838).
9. Qiyas. Transaksi mudharabah,
yakni penyerahan sejumlah harta (dana, modal) dari satu pihak (malik, shahib
al-mal) kepada pihak lain (‘amil,
mudharib) untuk diperniagakan (diproduktifkan) dan keuntungan dibagi di antara
mereka sesuai kesepakatan, diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
10. Kaidah fiqh:
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ
أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
11. Para
ulama menyatakan, dalam kenyataan banyak orang yang mempunyai harta namun tidak
mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkannya, sementara itu tidak
sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam
memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di antara
kedua pihak tersebut.
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan
Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H./1 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG GIRO
Pertama : Giro ada
dua jenis:
1. Giro yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang
berdasarkan perhitungan bunga.
2. Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan
prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Kedua : Ketentuan
Umum Giro berdasarkan Mudharabah:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal
atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola
dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,
bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan
prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan
pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan
bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah
tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga : Ketentuan
Umum Giro berdasarkan Wadi’ah:
1. Bersifat titipan.
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call).
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Ditetapkan
di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H.
1
April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Prof. KH. Ali Yafie Drs.
H.A. Nazri AdlaniDEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
______________________________________________________________
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 01/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
G I R
O
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dewan
Syari’ah Nasional setelah
Menimbang : a. bahwa
keperluan masyarakat dalam peningkatan kesejahtera-an dan dalam bidang
investasi, pada masa kini, memerlukan jasa perbankan; dan salah satu produk
perbankan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat adalah giro, yaitu
simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan
cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan
pemindahbukuan;
b. bahwa kegiatan giro tidak semuanya dapat
dibenarkan oleh hukum Islam (syari’ah);
c. bahwa oleh karena itu, Dewan Syari’ah Nasional
(DSN) memandang perlu menetapkan fatwa tentang bentuk-bentuk mu’amalah
syar’iyah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan giro pada bank syari’ah.
Mengingat : 1. Firman
Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ
آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ
تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ...
“Hai
orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
sukarela di antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
...فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ...
“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya…”.
3. Firman Allah QS. al-Ma’idah
[5]: 1:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …”.
4. Firman Allah QS. al-Ma’idah
[5]: 2:
… وَتَعَاوَنُوْا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى …
“dan tolong-menolonglah
dalam (mengerjakan) kebajikan….”
5. Hadis Nabi riwayat
al-Thabrani:
كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ
الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ
لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ
دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه
الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).
“Abbas bin Abdul Muthallib
jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya
agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli
hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar
Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ،
وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ
(رواه ابن ماجه عن صهيب)
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang
mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah),
dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ
حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا، وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ
شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا (رواه الترمذي عن عمرو بن عوف).
“Perdamaian dapat dilakukan
di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin
‘Auf).
8. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah
sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai
mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu
dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
1989, 4/838).
9. Qiyas. Transaksi mudharabah,
yakni penyerahan sejumlah harta (dana, modal) dari satu pihak (malik, shahib
al-mal) kepada pihak lain (‘amil,
mudharib) untuk diperniagakan (diproduktifkan) dan keuntungan dibagi di antara
mereka sesuai kesepakatan, diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
10. Kaidah fiqh:
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ
أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
11. Para
ulama menyatakan, dalam kenyataan banyak orang yang mempunyai harta namun tidak
mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkannya, sementara itu tidak
sedikit pula orang yang tidak memiliki harta namun ia mempunyai kemampuan dalam
memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di antara
kedua pihak tersebut.
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan
Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H./1 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG GIRO
Pertama : Giro ada
dua jenis:
1. Giro yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang
berdasarkan perhitungan bunga.
2. Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan
prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Kedua : Ketentuan
Umum Giro berdasarkan Mudharabah:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal
atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola
dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,
bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan
prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan
pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan
bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah
tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga : Ketentuan
Umum Giro berdasarkan Wadi’ah:
1. Bersifat titipan.
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call).
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Ditetapkan
di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H.
1
April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Prof. KH. Ali Yafie Drs.
H.A. Nazri Adlani