DEWAN
SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
______________________________________________________________
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 08/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dewan Syari’ah Nasional setelah
Menimbang : a. bahwa kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan
kesejah-teraan dan usaha terkadang memerlukan dana dari pihak lain, antara lain
melalui pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan;
b. bahwa pembiayaan musyarakah yang memiliki
keunggulan dalam kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keun-tungan
maupun resiko kerugian, kini telah dilakukan oleh lembaga keuangan syari’ah
(LKS);
c. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa
tentang musyarakah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat : 1. Firman Allah QS. Shad [38]: 24:
…وَإِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلَى
بَعْضٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مَا
هُمْ…
"…Dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada
sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat
sedikitlah mereka ini…."
2. Firman
Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
“Hai orang yang beriman! Penuhilah
akad-akad itu….”
3. Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah,
Rasulullah SAW berkata:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى
يَقُوْلُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ،
فَإِذَا خَانَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا.
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah
pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak
mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku
keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu
Hurairah).
4. Hadis
Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ
بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ
حَرَامًا.
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
5. Taqrir Nabi
terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu.
6. Ijma’ Ulama
atas keboleh musyarakah.
7. Kaidah
fiqh:
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ
اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada
dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
Memperhatikan : Pendapat peserta
Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Kamis, tanggal 8 Muharram 1421
H./13 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG
PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Beberapa
Ketentuan:
1. Pernyataan ijab
dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka
dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara
eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada
saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2. Pihak-pihak
yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan
kekuasaan perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan
pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur
aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra
yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang
untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya,
tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk
mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3. Obyek akad
(modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
1)
Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama.
Modal
dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan
sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan
tunai dan disepakati oleh para mitra.
2) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali
atas dasar kesepakatan.
3) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah
tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat
meminta jaminan.
b. Kerja
1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan
merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak
dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan
tambahan bagi dirinya.
2) Setiap mitra
melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya.
Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c. Keuntungan
1) Keuntungan
harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa
pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
2) Setiap keuntungan
mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan
tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
3) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika
keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan
kepadanya.
4) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang
dengan jelas dalam akad.
d. Kerugian
Kerugian
harus dibagi di antara para mitra secara pro-porsional menurut saham
masing-masing dalam modal.
4. Biaya
Operasional dan Persengketaan
a. Biaya operasional dibebankan pada modal
bersama.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan
di : Jakarta
Tanggal : 08 Muharram 1421 H. 13
April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
Prof.
KH. Ali Yafie Drs.
H.A. Nazri Adlani