JUAL BELI DAN GADAI
Definisi jual beli
Jual beli adalah tukar menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu (akad). Sesuai dengan fiman Allah dalam (surat al-baqoroh:275)
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
2.2 Rukun jual beli
A. Penjual dan pembeli
Syaratnya ialah:
a. Berakal, agar dia tidak terkecoh. Sedangkan orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya
b. Dengan kehandak sendiri (bukan di paksa). Sesuai dengan firman Allah.
“janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batilkecuali dengan jalan berniagaan yang berlaku dengan sama-sama suka di antara kamu.”(An-Nisa:29).
c. Tidak mubajir (pemboros), sebab harta harta orang yang mubazir itu di tangan walinya.
“Dan janganlah kamu sebarkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang di jadikan Allah sebagai pokok kehidupan mu, berilah mereka belanja.” (An-Nisa:5).
d. Baliq (berumur 15 tahun keatas/dewas). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetepi belum sampai umur dewasa, menurut sebagian ulama, mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil ,karena tidak di perbolehkan, sudah tentu manjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan menerapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan pada pemiliknya.
B. Uang dan benda yang di beli
Syaratnya yaitu:
a. Suci. Barang najis tidak sah di jual dan tidak boleh dijadikan uang untuk di belikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum di masak.
b. Ada manfaatnya.Tidak boleh menjual yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mangambil tukarannya karena karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci.
Firman Allah Swt:
“sesungguhnya pemboros itu saudara-saudara setan”
(Al-isra:27)
c. Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual barang yang tidak diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut,brang rampasan yang masih ada ditangan yang merampasnya, barang yang masih dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan)
Dari Abu Hurairah . ia berkata,” Nabi Saw. Telah melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipu daya,”(Riwayat Mualim dan lain-lain).
d. Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan.
Sabda Rasululloh Saw:
“tidak sah jual beli selainmengenai barang yang dimiliki.”(Riwayat Abu Dawut dan Tirmizi)
e. Barang tersebut di ketauhi si penjual dan si pembeli, zat,bentuk,kadar (ukuran), dan sifat-sifatnya jelas sehingga keduanya tidak akan terjadi kecohan-mengecoh.
2.3 Lafat ijab dan Kabul
Ijab adalah prkatan sipenjual, umpamanya, “saya jual barang ini sekian.”Kabul adalah ucapan si pembeli,” saya terima (saya beli) dengan harga sekian.” Keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka, dan juga sabda Roasululloh Saw, :“sesungguhnya jual beli itu sah jika sama-sama suka.”(Riwayat Ibnu Hibban)
Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat:
a. Keadaan ijab dan kabul berhubungan. Artinya, salah satu dari keduanya pantas memberi jawaban dari yang lain dan belum berselang yang lama.
b. Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walaupun lafaz memberi barang yang lebih mahal keduanya berlainan.
c. Keduanya tidak di sangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya,” kalau saya jadi pergi, saya akan jual barang ini sekian.”Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan, setahun itu tidak sah
[1].
2.4 Beberapa jual beli yang sah, tetapi dilarang
Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, di sini akan diuraikan beberapa cara saja sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebab timbulnya larangan adalah:
1. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari pada harga pasar, sedangkan dia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu.
2. Membeli barang orang yang sudah di beli orang lain yang masih dalam masa khiyar.
3. Menjegat orang yang datang dari desa di luar kota, lalu memberi barangnya sebelum mereka sampai kepasar dan sebelum mereka mengetahui harga pasar
4. Membeli barang untuk ditahan agar dapat di jual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapan merusak ketentraman umum.
5. Khiyar
Khiyar artinya “boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau menggugurkan (menarik kembali, tidak jual beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua yang berjual dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran mereka tertipu. Khiyar terbagi menjadi tiga macam yaitu khiyar majelis, khiyar syarat, khiyar aibi.
[2] 2.5 Hukum-hukum jual beli
Adapun hukum jual beli dibagi menjadi empat antara lain :
a) Mubah (boleh), merupakan hukum jual beli
b) Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa; begitu pula juga kadi menjual harta muflis (orang lebih banyak utangnya daripada hartanya),
c) Haram, sebagaimana yang diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang.
d) Sunat, misalnya jual beli pada sahabat atau famili yang dikasihi, dan kepada oarang yang sangat membutuhkan barang itu.
[3] 2.6 Definisi Penggadaian
Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al tsubut dan al habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa al rahn adalah terkurung atau terjerat.
[4] Menurut terminologi syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:
حبس شىء بحق يمكن إستفا ؤه منه
Artinya:
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut”.
Ulama fiqih mempunyai pendapat dalam mendefenisikan rahn;
1. Menurut ulama syafi’iyah
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”.
2. Menurut ulama hanabilah
Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman”.
[5] Jadi dapat disimpulkan bahwa rahn atau gadai adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
[6] 2.7 Landasan Syari’at Tentang Gadai
.
Akad rahn diperbolehkan oleh syara’ dengan berbagai dalil dari al qur’an maupun hadits Nabi Saw, begitu juga dengan ijma’ ulama. Diantaranya adalah firman allah dalam surah al Baqarah ayat 283 dan 282
Artinya
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang* (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.”
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah* tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
Hadits Nabi saw
Artinya
“Dari Siti Aisyah r.a bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari orang yahudi dengan harga yang dihutang, sebagai tanggungan atas utangnya itu Nabi menggadaikan baju besinya (Hr. Bukhari & Muslim)
[7] 2.8 Rukun dan Syarat Gadai
Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun diantaranya :
1. Akad dan ijab Kabul, seperti seseorang berkata ; “aku gadaikan motorku dengan harga Rp 2.000.000 dan yang satu lagi menjawab. “aku terima gadai motormu Rp 2.000.000 atau bias pula dengan selain dengan kata-kata seperti dengan surat, isyarat, atau lainnya.
2. Aqid yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus di bayar.
Menurut uluma Ahmad bin Hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan dalam masalah gadai ada 3 macam yaitu kesaksian, barang gadai, barang tanggungan.
[8] 2.9 Pengambilan Manfaat barang gadai dan Resiko Kerusakan Marhun
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, di antaranya jumhur fuqaha dan Ahmad.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Rasul bersabda:
Artinya
"Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba" (Riwayat Harits bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, Jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasul bersabda:
Artinya
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan memi- numnya wajib memberikan biaya".
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan? Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang dibolehkan di sini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
Resiko kerusakan marhun, apabila marhun hilang di bawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali apabila rusak atau hilanggnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, umpanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, maka murtahin wajib bertanggung jawab.
Menurut hanafi murtahin yang memegang marhun menanggung kerusakan atau kehilangan marhun, bila marhun rusak atau hilang, baik karena kelalaian (disia-siakan) maupun tidak, sedangkan menurut syafi’I murtahin menanggung resiko kehilangan atau kerusakan marhun bila marhun rusak atau hilang karena disia-siakan oleh murtahin.
[9] BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut :
1. Jual beli adalah tukar menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu (akad).
2. Syarat jual beli harus ada aqad, penjual dan pembeli dan barang.
3. Mubah (boleh), merupakan hukum jual beli, Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa; begitu pula juga kadi menjual harta muflis (orang lebih banyak utangnya daripada hartanya),Haram, sebagaimana yang diterangkan pada rupa-rupa jual beli yang dilarang. Sunat, misalnya jual beli pada sahabat atau famili yang dikasihi, dan kepada oarang yang sangat membutuhkan barang itu.
4. Gadai adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
5. Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja, jika kedua belah pihak tidak saling mempercayai.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2008
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008
H. Sulaiman rasjid, Fiqih islam,(Bandung , sinar barualgensindo, 1994)
Rachmat syafe’I, fiqih muamalah, pustaka setia, bandung, 2000
Syafi’i Jafri, Fiqih Muamalah, Suska Press, Pekanbaru, 2008
[1] H. Sulaiman rasjid, Fiqih islam,(Bandung , sinar barualgensindo, 1994)
[2] Rachmat syafe’I, fiqih muamalah, pustaka setia, bandung, 2000, hlm.93
[3] H. Sulaiman rasjid, op.cit hal 289
[4] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 105
[5] Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2008, hlm.263
[6] Rachmat syafe’I, op.cit hlm. 159
[7] Syafi’i Jafri, Fiqih Muamalah, Suska Press, Pekanbaru, 2008, hal 74
[8] Hendi Suhendi, op.cit hal 106
[9] Ibid hal 108-109