KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin ,Segala puji syukur
hanya milik Allah SWT Pencipta alam
semesta yang selalu memberikan rahmat kasih sayang dan nikmat Tidak terhingga
yang selalu dirasakan setiap detiknya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta
salam semoga selalu tercurah kepada uswatun hasanah kita Rosululloh SAW beserta
para sahabatnya dan keluarganya.
Pada
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak dosen mata kuliah Ilmu
Kalam yang telah memberikan bimbingan
kepada kami dan sahabat sahabat di Program Studi Ilmu Kalam untuk semangat di
perjuangannya.
Semoga allah SWT selalu memberikan balasan atas
kebaikan yang telah di berikan.Kami menyadari Makalah ini masih jauh dari
sempurna ,untuk itu kritik dan saran sangat saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami danpembaca khususnya dan
bagi kita semua.
Bandar
Lampung,Desember 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL……………………………………………………………………………………………………………….
KATA
PENGANTAR………………………………………………………………………………………………………………1
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………………………………………….2
BAB
IPENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………….3
1.1 Latar
Belakang……………………………………………………………………………………………………….3
1.2 Rumusan
Masalah………………………………………………………………………………………………….4
1.3 Tujuan
Penulisan……………………………………………………………………………………………………4
j
BAB
II
PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………………………………
2.1
Pengertian Aliran
Asy’ariyah………………………………………………………………………………….5
2.2
Sejarah Berdirinya Aliran Asy’ariyah………………………………………………………………………5
2.3 Istilah Aliran Asy’ariyah dan ahlussunah…………………………………………………………………8
2.3 Pandangan-pandangan aliran asy’ariyah………………………………………………………………12
BAB
III PENUTUP…………………………………………………………………………………………………………………………..
3.1
kesimpulan………………………………………………………………………………………………………………………..14
DAFTARPUSTAKA………………………………………………………………………………………………………….……15
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mempelajari mata kuliah Ilmu Kalam merupakan salah satu dari tiga
komponen utama rukun iman.ketiga komponen itu ,yaitu nuthqun bi al lisani (
mengucapkan dengan lisan ), ‘amalun bi al-arkani (melaksanakan sesuai dengan rukun-rukun). Dan
tashdqun bil qalbi (membenarkan dengan
hati ).agar keyakinan itu dapat tumbuh dengan kukuhnya,para ulama terdahulu
telah melakukan kajian secara mendalam.
Untuk
menjadikan ucapan lisan secara meyakinkan dan kukuh diperlukan ilmunya,yaitu tauhid,ilmu yang membahas
tentang masalah ketuhanan.Pada gilirannya dengan perkembangan situasi dan
kondisi sosial yang berlaku pada saatnya,ilmu tauhid telah berkembang menjadi
ilmu kalam.Sementara itu,ilmu yang dapat memperkukuh amalan-amalan iman
dinamakan ilmu fiqih. Ilmu fiqih menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan
amalan-amaln seorang yang beriman agar keimanannya semakin kuat.Diantara amalan
itu, yaitu amalan-amalan ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat,dan
berhaji keb Baitullah.Adapun ilmu yang membahas agar hati seorang mukmin dapat
memperoleh keyakinan yang kuat, para ulama masalalu mengajarkan ilmu
tasawuf.dengan ilmu ini,diharapkan iman seseorang mukmin mampu meresap kedalam
hati seseorang mukmin yang terdalam.
Ketiga
komponen ilmu itu, dalam kajian ilmu-ilmu keislaman secara ilmiah, menjadi
kajian utamanya. Hanya, stressing –nya terkadang berbeda beda antara satu
wilayah atau Negara dengan wilayah lain atau Negara lain. Terkadang di satu
wilayah atau negara ilmu fiqih dan ilmu kalam diperkuat, sementara ilmu
tasawufnya kurang berkembang.Diwilayah atau negara lain , ilmu fiqih dengan lmu
tasawuf yang lebih dikembangkan, dengan kurang memperhatikan pengembangan ilmu
kalam,atau berbagai model lagi.
Kini
umat islam semakin dewasa.Setiap ilmuan mulai mampu menempatkan posisi
masing-masing ilmu sesuai dengan posisi dan konsisinya. Lalu, kaum muslimin
mulai gemar mempelajari ketiga komponen disiplin ilmu tersebut tanpa harus
menapikan salah satunya. Untuk itu , disiolan ilmu kalam pun menjadi kajjian
yang mutlak, bahkan dianggap sebagai ilmu yang wajib di kaji disetiap jurusan
berbagai fakultas keagamaan , khususnya di Indonesia.
I.2 Rumusan masalah
A).
Pengertian Aliran Asy’ariah
b).
Sejarah berdirinya Aliran Asy’ariah
c). Istilah Aliran Asy’ariah dan Ahlussunah
d).Pandangan pandangan Aliran Asy’ariah
Tujuan Pnulisan
·
.Sebagai sebuah disiplin ilmu, komponen ilmu yang memperkuat keimanan
seseorang. Disiplin ilmu kalam
merupakan komponen ilmu-ilmu dasar Universitas yang dikaji di setiap fakultas
Ilmu-ilmu keislaman.
·
Untuk mengetahui pengertian Aliran Asy’ariah
·
Untukmengetahui dan memahami dengan baik sejarah berdirinya Aliran
Asy’Ariah
·
Untuk mengetahui dan mamahami istilah Aliran Asy’ariah dan Ahlussunah
·
Untuk mengetahui dan memahami
pandangan-pandangan Aliran Asy’ariah
PAHAM ASY’ARIYAH
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang
dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali
bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin
Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah
saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia
menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun
260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M.
Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid
Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua
Muktazilah di Bashrah.Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu
Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya
terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai
metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok
Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham
Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh
sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal
yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain
menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i
seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).Sumber lain mengatakan
bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata
kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku,
karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama
pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang
kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam
mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15
hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi
pada tahun 300 H.Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela
keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini,
karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia
menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.Abul Hasan
menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah,
Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an,
Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam
ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang
berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau
hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi
orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun.
Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga
sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau
berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang
selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung
dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari
itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik
balik pemikiran akidah muktazilah.Di antara pemikirannya pada periode ini
adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang
bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan
seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih
belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya
dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu
punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode
Ketiga
Pada
periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat
Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan
ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.Beliau para
periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki,
betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif:
menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil:
menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil:
menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah,
tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada
periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah."
Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis
beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3.
Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada
masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan
menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan
rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat
untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal. Al-Asy‘ari adalah
salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika
menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan
merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus
kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar
Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan
hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4.
Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah
ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan
seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi
pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada
di Baghdad maupun dikota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang
di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para
petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki
serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.Juga didukung oleh sejumlah besar ulama,
terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode
akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini
adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
B.
ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai
beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di
atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana
yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang
yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.”
Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar
yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan
lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat
dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah
Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).Para Ulama itu menyusun
beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu
sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan
"As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi
dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah
thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.Ahlus Sunnah adalah mereka yang
mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya
radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli
Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai
dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari
Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum,
menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang
diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.Kedua,
lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di
mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim,
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan
lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan
dengan nash dan ijma'.Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab
Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah
shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun
penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya
firqah-firqah.Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya
tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama)
mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat
kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul
Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah
ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka
yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi,
Qadari, dan bukan pula Rafidli.”Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan
dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk
masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa
dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah
Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus
Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan
mereka.Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau
umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah
dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.Dari
keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di
kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan
istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij,
Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul
(pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
shahabat radhiyallahu 'anhum.Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah
istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam
i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang
berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang
perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok
manusia atau kelompok terbesar)
dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu
perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali
kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin)
menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang
jamaah ini dan amirnya.Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba'
dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti
dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan
Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.Syaikhul Islam
mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu
adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah
menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan
pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama)
mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada
hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah
mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama
menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya :
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala,
”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang
muram.” [Ali Imran: 105].Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah
Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah
Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai
(khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang
lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka.
Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang
ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain.
Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan
atas luasnya i'tiqad dan manhaj.Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik
dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling
banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah.Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap
paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau
718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat
dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman
khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813
M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah
diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.Ajaran yang ditonjolkan ialah
paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut
mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti
kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang
diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua
calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada
ajaran mazhab. Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha
Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama
Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada
kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah. Asy'ariyah banyak
menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka
mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa
yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian
dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan
Madzhab Salaf. Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki
beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah
memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat
tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu
juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan
pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata
diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat
dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan
manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan
pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah
Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang
berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan
pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki
kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat
Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan
Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar
tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah
mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun
baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan
melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan
memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran
yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus
ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Az-Zubaidi
menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka
itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah
wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam
Abu Manshur Al-Maturidi. Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang
terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka,
"Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para
shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari
kalangan AhliHadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu
Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka
berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah
yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1.
Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil
kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yangmelihat, yang mendengar, dan
sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2.
Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan
Allah, yang dahulunya tidak ada.
3.
Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat,
tidak berarti bahwa Allah itu adanya karenadiciptakan.
4.
Perbuatan-perbuatan manusia bukan
aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5.
Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan
bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah
adil. Mereka menentang konsep janji
dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
1.
Mengenai anthropomorfisme, yaitu
memiliki atau melakukan sesuatu seperti yangdilakukan makhluk, jangan
dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apapun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah
(manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak
ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan
perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran
Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan,
dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh
Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin
menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan
mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak
akan berbuat zalim. Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat
bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada
beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang
rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah
makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi. Ancaman menurut
Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia
pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu
memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi
ampun siapa saja yang Dia kehendaki. Adapun yang mereka maksud dengan di antara
dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan,
tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar
menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang
diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak
kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari,
banyak yang mengkritik paham Asy’ari.
Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu
saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan
manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal
Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia
beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti
pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam
perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri
manusia. Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul
Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang
anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus
diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami
sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan
seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus,
sepertidikatakan Asy’ari. Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar
pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam
Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari.
Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik
dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud
di luar zat.
2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan
daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai
wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan
(ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan
Tuhan boleh memberi bebanyang tak dapat dipikul kepada manusia.Berkat
Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana
pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para
khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama
masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang
berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang
berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/
1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani
(328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/
1003-1083 M)
BAB III. PENUTUP
KESIMPULAN
Berdirinya
Aliran Asy’ariah dipicu oleh sosial politik yang berkembang waktu itu,
terhadapada mas masa pemerintahan Al makmun serangan mu’tazilah terhadap para
fuqoha dan muhaditsin semakin gencar. Asy’ariah adalah sebuah paham akidah yang
di nisbahkan kepada Abdul hasan al
asy’ari, nama lengkapnya adalah Abul hasan Ali ali bin Ismail bin Abi basyar
Ishaq bin salim bin Ismai bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi budah Amir
bin Abi Musa Al asy’ari, seorang sahabat Rosululloh saw. Abu hasan al Asy’ari
dilahirkan pada tahun 260 H atau 874 M DI Basyrah dan meninggal dunia di
Baghdad pada tahun 324 H / 936 M.
Pemikiran Asy’ariah dalam
dalam masalah akidah ada tiga periode yang
berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a)
Periiode pertama: Beliau berada di bawah pengaruh Al-jubbai syaikh
aliran muktazilah.Periode ini berjalan
kira-kira selama 40-an tahun.
b)
Periode kedua : Pada periode ini beliau menetapkan 7 sifat allah lewat
logika akal, yaitu :
Ø Al-hayyah (hidup)
Ø Al-ilmu(ilmu)
Ø Al-irodaha(berkehendak
Ø Al- qudrah(berketetapan)
Ø As-sama(mendengar)
Ø Al-bashar(melihat)
Ø Al-kalam (berbicara)
c)
Periode ketiga:Beliau pada periode ini menerima bahwa Allah itu
benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya.Beliau tidak
melakukan :
·
Takyif : menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan, dan kaki Allah
·
Ta’thil : menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
·
Tamtsil : menyarupakan wajah, tangan
dan kaki Allah dengan sesuatu
·
Tahrif : menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim
,LEKTOR pada fakultas Dakwah ,Ilmu
kalam/ theology Islam,
Prof.Dr
.H. Abdul rozak,M.M.Ag