SISTEM EKONOMI ISLAM
Islam bukan sekedar menawarkan
pedoman-pedoman moral teoritis guna membangun sistem ekonomi, tapi juga
mengemukakan suatu metodologi yang layak untuk menerapkan pedoman-pedoman
dengan ke absahan cara dan juga legitimasi tujuan dengan landasan atas
pertimbangan etika yang jelas dan dapat bemakna di dalam keseluruan kerangka
tata sosial, dengan pendekatan terhadap sistem ekonomi ini sangat relevan dan
amat mendesak untuk di alamatkan pada syari’ah dengan sistem ekonomi Islam.
Pada masa dahulu aplikasinya
sangat sederhana dan berlangsung antara dua pihak. Pada masa sekarang ketika mudharabah
masuk dalam dunia perbankan aplikasinya mengalami pengembangan. Demikian pula
penerapan bai’ istishna’ dalam pembangunan suatu proyek. Ini adalah
pengembangan dari konsep jual biasa yang diajarkan Al-quran dan Sunnah. Tugas
cendikiawan muslim sepanjang sejarah adalah mengembangkan teknik penerapan
prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan situasi, kondisi dan perkembangan zaman.
Dengan demikian ciri khas aspek muamalat (ekonomi) adalah cakupannya yang
luas dan bersifat elastis, dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman
dan perubahan tempat. Ajaran muamalat khususnya dalam ekonomi lebih tampak
sifat universalnya.
Hal ini karena dalam bermuamalat di bidang ekonomi tidak membeda-bedakan muslim
dan non-muslim. Filsafat ekonomi, merupakan dasar dari sebuah sistem ekonomi
yang dibangun.Berdasarkan
filsafat ekonomi yang ada dapat diturunkan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai, misalnya tujuan kegiatan ekonomi konsumsi, produksi, distribusi,
pembangunan ekonomi, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan sebagainya.
A.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan pengertian ekonomi islam ?
2.
Bagaimana ekonomi islam dalam filsafat hukum islam ?
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sistem Ekonomi Islam
Salah satu aspek penting yang
terkait dengan hubungan antar manusia adalah ekonomi. Ajaran Islam tentang
ekonomi memiliki prinsip-prinsip yang bersumber Al-quran dan Hadits.
Prinsip-prinsip umum tersebut bersifat abadi seperti prinsip tauhid, adil,
maslahat, kebebasan dan tangung jawab, persaudaraan, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip ini menjadi landasan kegiatan ekonomi di dalam Islam yang
secara teknis operasional selalu berkembang dan dapat berubah
sesuai dengan perkembanga zaman dan peradaban yang dihadapi manusia. Contoh
variabel yang dapat berkembang antara lain aplikasi prinsip mudharabah
dalam bank atau asuransi.
Ekonomi Islam adalah suatu cabang
ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya
menyelesaikan masalah ekonomi dengan cara yang islami.
Sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang mandiri, oleh karenanya
Islam mendorong kehidupan sebagai kesatuan yang utuh dan menolong kehidupan
seseorang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, yang
individu-individunya saling membutuhkan dan saling melengkapi dalam skema
tata sosial, karena manusia adalah entitas individu sekaligus kolektif. Ekonomi
Islam adalah cara hidup yang serba cukup, Islam sendiri menyediakan segala
aspek eksistensi manusia yang mengupayakan sebuah tatanan yang didasarkan pada
seperangkat konsep Hablum min-Allah wa hablum min-Annas, yang
berkaitan tentang Tuhan, manusia dan hubungan keduanya (tauhidi).
Maka ekonomi Islam menempati
kedudukan yang istimewa karena Islam yakin bahwa stabilitas universal tergantug
pada kesejahteraan material dan sepiritual manusia. Kedua aspek ini terpadu
dalam satu bentuk tindakan dan kebutuhan manusia. Aktivitas antar manusia
termasuk aktivitas ekonomi terjadi melalui apa yang di istilahkan oleh
ulama dengan muamalah (intrataksi) pesan al-Quran dalam aktivitas
ekonomi yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 188 :
“ Dan janganlah
kamu sekalian makan atau melakukan
interaksi ekonomi di antara kamu dengan jalan yang bathil ”.
Islam adalah agama yang universal
dan komprehensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh
ummat manusia di muka bumi dan dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat
sampai akhir zaman sedangkan komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran
yang lengkap dan sempurna (syumul). Kesempurnaan ajaran Islam dikarenakan
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia tidak saja aspek spiritual
(ibadah murni), tetapi juga aspek muamalah yang meliputi ekonomi, sosial,
politik, hukum, dan sebagainya.
B. Ekonomi Islam dalam Sorotan
Filsafat
Filsafat ekonomi Islam didasarkan
pada tiga konsep yakni filsafat Tuhan, manusia dan alam. Kunci filsafat ekonomi
Islam terletak pada manusia dengan Tuhan, alam dan manusia lainnya. Dimensi
filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan sistem
ekonomi lainnya kapitalisme dan sosialisme. Filsafat ekonomi yang Islami,
memiliki paradigma yang relevan dengan nilai-nilai logis, etis dan estetis yang
Islami yang kemudian difungsionalkan ke tengah tingkah laku ekonomi manusia.
Dari filsafat ekonomi ini diturunkan juga nilai-nilai instrumental sebagai
perangkat peraturan permainan suatu kegiatan.
Seperti disebut di atas
bahwa salah satu poin yang menjadi dasar perbedaan antara sistem ekonomi Islam
dengan sistem ekonomi lainnya adalah pada falsafahnya yang terdiri dari
nilai-nilai dan tujuan. Dalam ekonomi Islam nilai-nilai ekonomi bersumber
Al-Qur’an dan Hadits berupa prinsip-prinsip universal. Di saat sistem ekonomi
lain hanya terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi,
Islam lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung dalam
setiap kegiatan ekonomi tersebut. Nilai-nilai inilah yang selalu mendasari
setiap kegiatan ekonomi Islam.
Bangunan Ekonomi Islam didasarkan
pada fondasi utama yaitu tauhid, fondasi berikutnya adalah
syariah dan akhlak. Pengamalan syariah dan akhlak merupakan refleksi dari
tauhid. Landasan tauhid yang tidak kokoh akan mengakibatkan implementasi
syariah dan akhlak terganggu. Dasar syariah adalah membimbing aktivitas ekonomi
sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah syariah. Sedangkan akhlak membimbing
aktivitas ekonomi manusia agar senantiasa mengedepankan moralitas dan
etika untuk mencapai tujuan. Akhlah yang terpancar dari iman akan membentuk
integritas yang membentuk good corporate governance dan market diciplin yang
baik.
Dari fondasi ini muncul 10
prinsip derivatif sebagai pilar ekonomi Islam. Pembahasan komperhensif
mengenai prinsip-prinsip ini selanjutnya akan dijelaskan secara lebih detail
sebagai berikut:
A.
Tauhid
Tauhid merupakan fondasi utama
seluruh ajaran Islam, dengan demikian tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan
aktivitas umat Islam, baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun
budaya. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tauhid merupakan filsafat fundamental
dari ekonomi Islam. Seperti dalam surat az-zumar(39) : 38 :
Dan sesungguhnya, jika engkau tanyakan kepada mereka , “siapakah yang
menciptakan langit dan bumi? “niscaya mereka menjawab , “Allah. “Katakanlah ,
“kalau begitu tahukah kamu tentang apa yang kamu sembah selain Allah, jika
Allah hendak mendatangkan bencana itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat
kepadaku, apakah mereka dapat Menecegah rahmat-Nya?”Katakanlah, “cukuplah Allah
bagi ku . kepada-Nya-lah yang bertawakal berserah diri.
Hakikat tauhid juga dapat berarti
penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Allah, baik menyangkut ibadah maupun
muamalah. Sehingga semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam kerangka
menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.
Dalam konteks ini Ismail Al-
Faruqi mengatakan: tauhid sebagai prinsip pertama tata ekonomi yang menciptakan
“negara sejahtera” pertama dan Islamlah yang melembagakan sosialis
pertama dan melakukan lebih banyak keadilan sosial. Islam juga yang
pertama merehabilitasi martabat manusia. Pengertian konsep yang ideal ini tidak
ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini.
Landasan filosofis inilah yang
membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena
keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan materialisme. Dalam konteks
ekonomi tauhid berimplikasi adanya kemestian setiap kegiatan ekonomi
untuk bertolak dan bersumber dari ajaran Allah, dilakukan dengan cara-cara yang
ditentukan Allah dan akhirnya ditujukan untuk ketaqwaan kepada Allah. Konsep
tauhid yang menjadi dasar filosofis ini, mengajarkan dua ajaran utama dalam
ekonomi.
Ø Semua sumber daya yang ada di
alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara mutlak dan hakiki. Dalam
mengelolah sumber daya alam manusia harus mengikuti aturan Allah terdapat dalam
Firman Allah:
“Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah dalam berbagai urusan, maka
ikutilah syari’ah itu . jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tak
mengetahui”. (Al- Jattsiyah :8)
Manusia hanya sebagai pemegang
amanah untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.
Ø Allah menyediakan sumber daya
alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan
sebagai khalifah dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu
untuk kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam, semua sumber daya
yang ada, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung ( tak terbatas ) banyaknya.
Firman Allah :
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah,
niscaya kamu tak bisa menghitungnya” (QS.Ibrahim :
34)
Berbeda dengan pandangan di atas,
para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan pendapat bahwa sumber daya
alam terbatas, karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami
suatu negara bukan karena terbatasnya sumber daya alam melainkan karena tidak
meratanya distribusi sehingga terwujud ketidak adilan sumber daya.
B.Mashlahah
Prinsip kedua dalam ekonomi Islam
adalah maslahah. Penempatan prinsip ini diurutan kedua karena mashlahah
merupakan konsep yang paling penting dalam syariah sesudah tauhid.
Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu
sendiri. Secara umum maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia
dan akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang
mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan
dan mafsadah. Imam
Al-Ghazali menyimpukan, maslahah adalah upaya mewujudkan dan memelihara lima
kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Al – mashlahah sebagai salah satu
model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi
Islam dan kebijakan ekonomi. Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh
syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah dalam
merespon dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan
umum) merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara
syar’i, bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana
dalam ekonomi konvensional.
C.
Adil
Prinsip adil merupakan pilar
penting dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan telah ditekankan oleh
Al-Qur’an sebagai misi utama para Nabi yang diutus Allah. Firman Allah:
“ Sungguh, kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan bukti-bukti yang
nyata dari kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia berlaku adil”. (QS. Al-Hadid :
25)
Penegakan keadilan ini termasuk
keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang menurunkan
Islam sebagai sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan pentingnya
adanya keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial.
Komitmen Al-Qur’an tentang penegakan keadilan terlihat dari penyebutan kata
keadilan di dalamnya yang mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti kata
urutan ketiga yang banyak disebut Al-Quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan
menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al-Qur’an berisi tentang keharusan
menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman.
Tujuan keadilan sosial ekonomi
dan pemerataan pendapatan atau kesejahteraan, dianggap sebagai bagian tak
terpisahkan dari filsafat moral Islam. Demikian kuatnya penekanan Islam pada
penegakan keadilan sosio ekonomi. Maka adalah sesuatu yang keliru, klaim
kapitalis maupun sosialis yang menyatakan bahwa hanya mereka yang menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan. Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang
keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada
komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen
penegakkan keadilan sosio ekonomi lebih merupakan akibat adanya tekanan
dari kelompok.
Konsep sosial ekonomi dalam Islam
berbeda secara mendasar dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan
sosialisme. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam selain didasarkan pada komitmen
spritual juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia.
Al-quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan
tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti
mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua
sisi yang tak bisa dipisahkan. Dengan demikian kedua tujuan ini terintegrasi
sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen
spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam. Komitmen Islam yang besar pada
persaudaraan dan keadilan menuntut agar semua sumber daya yang menjadi
amanat suci Tuhan digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan
kebutuhan hidup manusia terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang,
pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga
menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat
melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj,
jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.
D.
Khalifah
Dalam doktrin Islam manusia
diciptakan Allah untuk menjadi khalifah (wakil Allah) di muka bumi. Firman
Allah:
“ Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat “Aku hendak
menjadikan khalifah di bumi” (QS.
Al-baqarah : 30 )
Manusia telah diberkahi dengan
semua kelengkapan akal, spiritual, dan material yang
memungkinkannya untuk mengemban misinya dengan efektif. Fungsi kekhalifahan
manusia adalah untuk mengelola alam dan memakmurkan bumi sesuai dengan
ketentuan dan syariah Allah. Dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah ia
diberi kebebasan dan juga dapat berfikir serta menalar untuk memilih antara
yang benar dan yang salah, baik dan buruk dan mengubah kondisi hidupnya ke arah
yang lebih baik. Berbeda dengan paradigma kapitalisme, konsep khilafah
mengangkat manusia ke status terhormat di dalam alam semesta. Serta memberikan
arti dan misi bagi kehidupan baik laki-laki maupun wanita. Arti ini
diberikan oleh keyakinan bahwa mereka tidak diciptakan dengan sia-sia tetapi
untuk mengemban sebuah misi. Khalifah berbuat sesuai ajaran Tuhan dan berfungsi
sebagai wakil wakil Tuhan di muka bumi.
Manusia bebas memilih berbagai
alternatif penggunaan sumber-sumber ini. Namun karena ia bukan satu-satunya
khalifah tetapi masih banyak milyaran lagi khlaifah dan
saudara-saudranya, maka mereka harus memanfaatkan sumber-sumber daya itu secara
adil dan efisien sehingga terwujud kesejahteraan (falah) yang menjadi tujuan
kegiatan ekonomi Islam. Tujuan ini hanya tercapai jika sumber-sumber daya itu
digunakan dengan rasa tanggung jawab dan dalam batas-batas yang digariskan
syariah dalam simpul maqashid. Konsep khilafah juga meniscayakan peranan
negara dalam perekonomian. Peran penting tersebut antara lain memberikan
jaminan sosial kepada masyarakat, jaminan pelaksanaan ekonomi Islam, serta
kontrol pasar dan memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang
lain dalam kegiatan bisnis melalui lembaga hisbah. Peran negara dalam
perekonomian tidak berarti bahwa Islam menolak mekanisme pasar sepenuhnya.
E.
Persaudaraan
Al-Quran
mengajarkan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia, termasuk dan terutama
ukhuwah dalam perekonomian. Al-Quran mengatakan, firman Allah :
”Hai manusia, sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.(QS. Al-Hujurat: 13).
”Kami menjadikan kamu dari diri
yang satu” (QS. Ali Imran: 1).
Ayat-ayat ini menjelaskan
persamaan martabat sosial semua umat manusia di dunia. Kedudukan manusia adalah
sama di hadapan Allah. Kriteria untuk menilai seseorang bukanlah bangsa, ras,
warna kulit, tetapi tingkat pengabdian dan ketaqwaanya kepada Allah secara
vertikal dan kemanusiaan secara horizontal.
Nabi Muhammad Saw mengatakan ”Sebaik-baik
manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Ajaran Islam sangat
kuat menekankan altruisme, yaitu sikap mementingkan orang lain. Dalam
Al-Quran altruisme diistilahkan dengan itstar yang termaktub dalam
firman Allah:
”Mereka lebih mementingkan orang
lain dari diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam keadaan kesulitan”.
Ajaran ini jelas tidak
terdapat dalam ekonomi kapitalisme. Sebagaimana disebut di atas bahwa
Islam mengajarkan konsep al-musawat (persamaan) di antara sesama
manusia. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukan oleh Allah bagi
manusia manapun sebagai sumber manfaat ekonomis . Di sini tampak jelas
konsep persamaan manusia dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya.
Konsep persamaan manusia,
menunjukan bahwa Islam menolak pengklasifikasian manusia yang berdasarkan atas
kelas – kelas. Implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin
rasa persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam
ekonomi yakni syirkah, qiradh dan mudharabah . Inilah yang diterapkan di
dalam aktivitas ekonomi mikro di lembaga-lembaga keuangan Islam saat ini
seperti bank syari’ah, asuransi syari’ah, obligasi syari’ah, pasar modal
syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Dalam konteks ekonomi makro praktik
bagi hasil ini diterapkan dalam pinjaman luar negeri, dalam instrumen moneter
pemerintah sehingga sistem riba benar-benar dihapuskan dalam seluruh aktivitas
ekonomi baik mikro maupun makro.
F.
Kerja dan produktifitas
Dalam Islam bekerja dinilai
sebagai suatu kebaikan, dan sebaliknya kemalasan dinilai sebagai
keburukan. Dalam kepustakaan Islam cukup banyak buku-buku yang
menjelaskan secara rinci tentang etos kerja dalam Islam. Dalam pandangan Islam
bekerja dipandang sebagai ibadah. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bekerja
adalah jihad fi sabilillah.
Sabda Nabi Saw, “Siapa yang
bekerja keras untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fi
Sabillah”. Dalam hadits Riwayat Thabrani Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya,
di antara perbuatan dosa, ada yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shalat,
Sedeqah ataupun haji, namun hanya dapat ditebus dengan kesungguhan dalam
mencari Nafkah penghidupan”. (H.R.Thabrani).
Dalam hadits ini Nabi Saw
ingin menunjukkan betapa tingginya kedudukan bekerja dalam Islam, sehingga
hanya dengan bekerja keras (sunguh-sungguh) suatu dosa bisa dihapuskan oleh
Allah.
Dalam sebuah hadits Rasul saw
bersabda “Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja
pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah”. Sedangkan Hadits
Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir “Apabila kamu telah selesai shalat
subuh, maka janganlah kamu tidur”. Hadits ini memerintahkan agar manusia
menyegerakan bekerja sejak pagi-pagi sekali, agar ia menjadi produktif.
Bahkan Nabi SAW secara khusus mendoakan orang yang bekerja
sejak pagi sekali “Ya Allah, berkatilah ummatku yang bekerja
pada pagi-pagi sekali”.
G.
Kepemilikan
Dalam kapitalisme yang menganut
asas laisssez faire, hak pemilikan perorangan adalah absolut tanpa
batas. Terjaminnya kebebasan memasuki segala macam kegiatan ekonomi dan
transaksi menurut persaingan bebas. Sedangkan dalam marxisme, hak memiliki
hanya untuk kaum proleter yang diwakili oleh kepemimpinan diktator. Distribusi
faktor-faktor produksi dan apa yang harus diproduksi ditetapkan oleh negara.
Pendapatan kolektif dan distribusi yang kolektif adalah ajaran utama, sedangkan
hubungan-hubungan ekonomi dalam transaksi secara perorangan sangat dibatasi.
Berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme, dalam ekonomi Islam, pemilikan
hakiki hanya pada Allah. Allah adalah pemilik mutlak (absolut) sedangkan
manusia memegang hak milik relatif, artinya manusia hanyalah sebagai penerima
titipan, pemegang amanat yang harus mempertanggung jawabkannya kepada Allah.
Jadi, menurut ekonomi Islam, penguasaan manusia terhadap sumberdaya,
faktor produksi atau aset produktif hanyalah bersifat titipan dari Allah.
Pemilikan manusia atas harta secara absolut bertentangan dengan tauhid , karena
pemilikan sebenar hanya ada pada Allah semata.
H.
Kebebasan dan tanggung Jawab
Prinsip kebebasan dan tanggung
jawab dalam ekonomi Islam pertama kali dirumuskan oleh An-Naqvi. Kedua prinsip
tersebut, masing-masing dapat berdiri sendiri, tetapi doleh beliau kedua
prinsip tersebut digabungkan menjadi satu. Penyatuan ini dilakukan karena kedua
prinsip itu memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Penyatuan ini juga
dimaksudkan agar pembaca dengan cepat menangkap pengertian kebebasan dalam
kajian ini, sehingga tidak muncul tanda tanya dan kerancuan dalam pikiran
tentang makna kebebasan dalam persepektif Islam. Pengertian kebebasan dalam
perekonomian Islam difahami dari dua perspektif, pertama perspektif
teologi dan kedua perspektif ushul fiqh/falsafah tasyri’.
Pengertian kebebasan dalam
perspektif pertama berarti bahwa manusia bebas menentukan pilihan antara yang
baik dan yang buruk dalam mengelola sumberdaya alam. Kebebasan untuk menentukan
pilihan itu melekat pada diri manusia, karena manusia telah dianugerahi akal
untuk memikirkan mana yang baik dan yang buruk, mana yang maslahah
dan mafsadah (mana yang manfaat dan mudharat). Adanya kekebasan termasuk
dalam mengamalkan ekonomi, implikasinya manusia harus bertanggung jawab
atas segala perilakunya. Manusia dengan potensi akalnya mengetahi bahwa
penebangan hutan secara liar akan menimbulkan dampak banjir dan longsor.
Manusia juga tahu bahwa membuang limbah ke sungai yang airnya dibutuhkan
masyarakat untuk mencuci dan mandi adalah suatu perbuatan salah yang mengandung
mafsadah dan mudharat.
Seandainya manusia berkeyakinan
bahwa ia melakukan perbuatan itu karena dikehendaki Allah secara jabari, maka
tidak logis ia diminta pertanggung jawaban atas penyimpangan perilakunya. Jadi
makna kebebasan dalam konteks ini bukanlah manusia bebas tanpa batas melakukan
apa saja sebagaimana dalam faham liberalisme. Jadi, kebebasan dalam Islam bukan
kebebasan mutlak, karena kekebasan seperti itu hanya akan mengarah kepada
paradigma kapitalis laisssez faire dan kebebasan nilai (value free).
Kebebasan dalam pengertian Islam
adalah kekebasan yang terkendali (al-hurriyah al-muqayyadah).
Dengan demikian, konsep ekonomi pasar bebas tidak sepenuhnya begitu saja
diterima dalam ekonomi Islam. Alokasi dan distribusi sumber daya yang adil dan
efisien, tidak secara otomatis terwujud dengan sendirinya berdasarkan
kekuatan pasar. Harus ada lembaga pengawas dari otoritas pemerintah yang
dalam Islam disebut lembaga hisbah. Kebebasan dalam konteks kajian prinsip
ekonomi Islam dimaksudkan sebagai antitesis dari faham jabariyah
(determenisme). Faham ini mengajarkan bahwa manusia bertindak dan berperilaku
bukan atas dasar kebebasannya pilihannya sendiri, tetapi atas kehendak
Tuhan.
Pengertian kebebasan dalam
perspektif ushul fiqh berati bahwa dalam muamalah Islam membuka pintu
seluas luasnya di mana manusia bebas melakukan apa saja sepajang tidak ada nash
yang melarangnya. Aksioma ini didasarkan pada kaedah, pada dasarnya dalam
muamalah segala sesuatu dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yang
melarangnya. Bila diterjemahkan arti kebebasan bertanggng jawab ini ke dalam
dunia binsis, khususnya perusahaan, maka kita akan mendapatkan bahwa
Islam benar-benar memacu ummatnya untuk melakaukan inovasi
apa saja termasuk pengembangan teknologi dan diversifikasi produk.
Kepercayaan kepada hari kiamat memiliki peranan penting dalam kehidupaan
seorang muslim yang haruus mempertanggungjawabkan atas perbuatan nya. Contohnya
adalah analisis dan sajian ilmiah dalam akuntansi, misalnya apa yang
diperintahkan Allah dalam (QS.Al-Baqarah : 282 ) : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan benar”.
I.
Jaminan Sosial
Penjelasan sebelumnya telah
menjelaskan bahwa Islam menuntut kepada setiap orang yang mampu untuk bekerja
dan bersungguh-sungguh dalam kerjanya, sehingga ia dapat mencukupi dirinya dan
keluarganya. Namun demikian, beberapa anggota masyarakat ada yang tidak
mampu bekerja, sehingga mereka tidak berpenghasilan. Ada juga yang mampu
bekerja, tetapi tidak mendapatkan lapangan kerja sebagai sumber penghasilan
mereka dan pemerintah sendiri tidak mampu untuk mempersiapkan lapangan kerja
yang sesuai bagi mereka. Ada pula yang sebenarnya sudah bekerja, hanya saja
pemasukan mereka belum mencukupi standar yang layak, karena sedikitnya
pemasukan (income) atau banyaknya keluarga yang ditanggung atau mahalnya
harga barang atau karena sebab-sebab yang lain. Untuk mengatasi problem
tersebut Islam mengajarkan takaful al-ijtima’iy (jaminan sosial),
melalui isntrumen zakat, infak, sedeqah dan wakaf.
j)
Nubuwwah
Prinsip ekonomi Islam yang
terakhir adalah nubuwwah yang berarti kenabian. Prinsip nubuwwah dalam
ekonomi Islam merupakan landasan etis dalam ekonomi mikro. Prinsip nubuwwah
mengajarkan bahwa fungsi kehadiran seorang Rasul atau Nabi adalah untuk
menjelaskan syariah Allah SWT kepada umat manusia. Prinsip nubuwwah juga
mengajarkan bahwa Rasul merupakan personifikasi kehidupan
yang yang baik dan benar. Untuk itu Allah mengutus Nabi Muhammad Saw
sebagai Rasul terakhir yang bertugas untuk memberikan bimbingan dan sekaligus
sebagai teladan kehidupan. Sifat – sifat utama yang harus diteladani oleh
semua manusia (pelaku bisnis, pemerintah dan segenap manusia) dari Nabi
Muhammad, setidaknya ada empat, yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan fatanah.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- Sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang mandiri, oleh
karenanya Islam mendorong kehidupan sebagai kesatuan yang utuh dan
menolong kehidupan seseorang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat, yang individu-individunya saling membutuhkan
dan saling melengkapi dalam skema tata sosial, karena manusia adalah
entitas individu sekaligus kolektif.
- Filsafat ekonomi Islam didasarkan pada tiga konsep yakni filsafat
Tuhan, manusia dan alam. Kunci filsafat ekonomi Islam terletak pada
manusia dengan Tuhan, alam dan manusia lainnya. Dimensi filsafat ekonomi
Islam inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya
kapitalisme dan sosialisme. Filsafat ekonomi yang Islami, memiliki
paradigma yang relevan dengan nilai-nilai logis, etis dan estetis yang
Islami yang kemudian difungsionalkan ke tengah tingkah laku ekonomi
manusia. 10 prinsip derivatif sebagai pilar ekonomi Islam.
Pembahasan komperhensif mengenai prinsip-prinsip ini selanjutnya
akan dijelaskan secara lebih detail sebagai berikut:
o
Tauhid
o
Mashlahah
o
Adil
o
Khalifah
o
Persaudaraan
o
Kerja dan produktifitas
o
Kepemilikan
o
Kebebasan dan tanggung jawab
o
Jaminan sosial
o
Nubuwwah
B.
Saran
Dalam penulisan kami menyadari bahwa masih
banyaknya kekurangan dalam penulisan makalah kami ini. Untuk itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian. Atas saran dan kritiknya
kami ucapkan terima kasih.
Daftar Pustaka
Atang Abd Hakim, “Fiqh
Perbankan Syari’ah”. Bandung, Refika Aditama, 2011
Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi
Islam: suatu kajian kontemporer, Jakarta, gema Insani Press, 2001
Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh”
Jilid 1., Jakarta, Kencana, 2011
Endang Saiffudin Anshari, “Ilmu
Filsafat dan Agama”,(Surabaya, PT Bina Ilmu, 1981
Hasyimsyah Nasution, “Filsafat
Islam”, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002
M. Yusuf Qardhawi, “Norma dan
Etika Ekonomi Islam”, Jakarta, Gema Insani Press, 1987
Nurul Huda, “Ekonomi Makro
Islam Pendekatan Teoritis”, Jakarta, Kencana, 2007
PONPES AL-ISMAILIYUN, SUKADAMAI, NATAR LAM-SEL
Atang Abd
Hakim, “Fiqh Perbankan Syari’ah”. Bandung, Refika Aditama, 2011
Atang Abd Hakim, “Fiqh
Perbankan Syari’ah”. (Bandung; Refika Aditama, 2011), hal. 43
Op.,Cit, M. Yusuf
Qardhawi
Endang
Saiffudin Anshari, “Ilmu Filsafat dan Agama”,( Surabaya; PT.Bina Ilmu,
1981), hal. 69
Amir Syarifuddin, “Ushul Fiqh”
(Jilid 1., Jakarta; Kencana, 2011), hal. 38.
Op.,Cit., Endang Saiffudin Anshari